Menimbang Manfaat dan Risiko Gas Klorin
NA, Jakarta (19/6). Pernah mendengar tentang gas klorin? Mungkin sebagian besar kita lebih mengenalnya sebagai disinfektan dalam proses pengolahan air oleh banyak utilitas air minum di seluruh dunia. Tidak terkecuali PDAM di Indonesia.
Benar, zat kimia yang bersimbol C12 ini umum digunakan dalam proses disinfeksi air. Gas klorin dinilai efektif mengoksidasi bahan-bahan organik, membunuh kuman patogen dan meninggalkan sisa klorin bebas dalam air. Namun, sejatinya gas klorin termasuk bahan kimia berbahaya. Perlu kehati-hatian ekstra tidak hanya dalam penggunaannya, tetapi juga mulai dari proses pengangkutan dan penyimpanannya. Beberapa kejadian kebocoran gas klorin yang menimbulkan korban manusia membuktikan tingginya risiko pemakaian gas ini.
Pada Juni 2022, contohnya, sebuah tragedi memilukan terjadi di Yordania. Waktu itu, setidaknya ada 12 orang tewas dan 251 lainnya terluka dalam kebocoran gas klorin dari tangki penyimpanan di Pelabuhan Aqaba. Menurut laporan pemerintah dan media setempat, kebocoran terjadi setelah tangki berisi 25 ton gas klorin yang akan diekspor ke Djibouti jatuh saat diangkut.
Bukti lain tentang risiko besar dari gas klorin termuat di dalam catatan sejarah Perang Dunia I. Seperti dikutip dari liputan6.com, pada 22 April 1915, terjadi pertempuran antara Jerman melawan tentara Sekutu yang terdiri dari Prancis dan Aljazair, di Ypres, Belgia. Pada peperangan tersebut, pihak Jerman memanfaatkan gas klorin sebagai senjata kimia, dan ditempatkan sebagai hulu ledak melalui alat artileri. Bom gas klorin itu ditembakkan dari garis parit pertahanan Jerman ke garis parit pasukan sekutu Prancis dan Aljazair.
Dampaknya luar biasa dahsyat. Setelah jatuh dan meledak di tanah, hulu ledak itu seketika mengeluarkan gas klorin. Kemudian, dengan angin yang bertiup kencang, gas beracun itu bergerak cepat menyekap pasukan Prancis dan Aljazair. Korban pun langsung berjatuhan sebagai dampak dari gas beracun tersebut. Melihat betapa efektifnya sebagai senjata kimia, sejak perang tersebut sejumlah negara turut mengembangkan gas klorin sebagai senjata kimia. Tercatat, Prancis dan Inggris pernah mengadopsi teknik yang digunakan Jerman tersebut.
Kini, gas klorin tidak lagi digunakan sebagai senjata kimia mematikan. Ia lebih banyak digunakan sebagai pembunuh kuman dan bakteri di dunia perairminuman. Tetapi, sekali lagi, bukan berarti gas klorin tidak lagi berbahaya. Perlu kehati-hatian dan kecermatan dalam penggunaan gas klorin untuk menghindari risiko yang tidak kecil. Hal ini sangat penting diperhatikan mengingat di Indonesia sendiri penggunaan gas klorin sudah seperti sebuah kelaziman. Mulai dari PDAM sebagai operator pelayanan air minum masyarakat, pengelola kolam renang, hingga kalangan rumah tangga menggunakan gas klorin sebagai disinfeksi ataupun sekadar pembersih peralatan rumah tangga.
Seperti dikutip dari alodokter.com, gas klorin ternyata bisa berbahaya apabila tertelan, terhirup, atau terpapar kulit secara langsung, khususnya dalam jumlah besar. Selain dapat menyebabkan terjadinya iritasi kulit, iritasi mata, dan gangguan pernapasan, gas klorin dapat menyebabkan masalah pada organ pencernaan. Gejala yang timbul berupa mulut terasa perih, tenggorokan terasa nyeri dan membengkak, sakit perut, muntah, serta BAB berdarah. Selain itu, keracunan klorin juga ditandai dengan perubahan pH dalam darah dan penurunan tekanan darah secara drastis.
Rois Said/negeriair.com