Belarut
Oleh: Irsyad Ridho*
Bagaimana rasanya membiarkan tubuh berbaring santai di atas jukung, memercayakan segalanya kepada arus sungai yang meriak-riak perlahan ke hilir? Apakah rasanya merelakan kesadaran terlelap dalam tidur, membiarkan segalanya lenyap menuju serba kemungkinan untuk selamanya tidak terjaga kembali?
Itulah “belarut”, sebuah kata yang kupelajari dari handai tolan di kampung yang kini jauh, semakin menjauh.
Mereka, handai tolan itu, selalu sepakat untuk membiarkan saja orang yang tengah terlelap, mungkin di lantai masjid yang sejuk atau di ruang tengah yang lapang. Dia yang belarut itu sebenarnya sedang merasakan sejenak kenikmatan meniadakan diri setelah seharian terjaga dalam ego yang terus-menerus dipertahankan, retak-retak dihajar kehidupan. Tanpa perlu dituliskan atau dibuatkan poster yang besar-besar, tampaknya mereka sama-sama tahu saja bahwa membangunkan orang yang sedang belarut itu sangatlah tidak sopan. Bahkan, kalaupun dia melewatkan waktu salat, “biarkan malaikat saja yang membangunkannya.” Begitu kira-kira seorang sanak pernah bilang.
“Belarut”, karena itu, bukanlah sebuah lema semata di halaman kamus, melainkan sebuah tema yang dilahirkan dari kedekatan manusia dengan gerak-gerik batang sungai. Bersambung
*Penulis adalah dosen sastra di Universités Negeri Jakarta