Mengenal SWRO; Menjadikan Air Laut Layak Dikonsumsi
NA, Jakarta (3/7). Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun optimalisasi Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) di Pulau Penyengat, Kota Tanjungpinang, Kepulauan Riau (Kepri) dengan teknik pengolahan air laut yang disebut Sea Water Reverse Osmosis (SWRO). Pembangunan tersebut sebagai upaya mengatasi kekurangan air bersih di Pulau Penyengat.
Dengan sistem desalinasi air laut tersebut, kini SPAM Pulau Penyengat bisa menghasilkan air bersih berkapasitas 2,5 liter per detik. Kapasitas air tersebut cukup untuk melayani 438 sambungan rumah atau setara dengan 1.752 jiwa warga Pulau Penyengat.
“Alhamdulillah di penyengat sudah tidak ada lagi kendala atau krisis air bersih,” kata Kepala Balai Prasarana Pemukiman Wilayah (BPPW) Kepri Fasri Bachmid, Selasa (27/6/2023), seperti dikutip dari kompas.com.
Bagi negara maritim seperti Indonesia, SWRO nampaknya bisa menjadi alternatif solusi yang realistis dalam hal penyediaan air bersih. Luas laut yang mengelilingi kepulauan Nusantara mencapai 3.257.357 kilometer persegi. Praktis, negara ini tidak akan kekurangan air karenanya. Hanya, manusia tidak dapat mengkonsumsi air laut secara langsung.
Apa itu SWRO?
SWRO sendiri merupakan teknik desalinasi yang menggunakan membran reverse osmosis (RO) untuk memisahkan kandungan garam yang terkandung di air laut untuk kemudian didapatkan air tawar. Menurut dosen dari Korea University, Prof. Dae Ryook, proses pemisahan garam ini dilakukan pada tekanan tinggi. Karena itu, butuh energi yang besar untuk melakukan proses ini.
“Konsumsi energi yang besar inilah menjadi salah satu kelemahan dari SWRO,” ujar Prof. Dae, seperti dikutip dari laman Institut Teknologi Surabaya (ITS), beberapa waktu lalu.
Kelemahan ini pula nampaknya yang menjadikan SWRO kurang begitu poluler. Bagaimanapun, konsumsi energi berlebih membuat proses produksi air bersih menjadi amat mahal. Terutama di Indonesia, dimana harga air yang diproduksi soleh PDAM atau BUMD air minum relatif murah jika dibandingkan dengan air minum kemasan.
Namun demikian, berdasarkan kelemahan tersebut, Prof. Dae Ryook melakukan penelitian lebih lanjut untuk menyempurnakannya. Hasilnya, ditemukan bahwa energi yang dikonsumsi dapat diminimalisasi dengan mengurangi pekerjaan yang tidak dapat diperbaiki dari pompa tekanan tinggi, menurunkan tekanan osmotik dari pakan, dan memperbaiki energi osmotik dari konsentrat.
Setelah diaplikasikan pada SWRO, sang profesor menyampaikan bahwa ternyata konsumsi energi yang dibutuhkan pada proses SWRO ini hanya sebesar 2-4 kWh/m3. Menurutnya, metode SWRO ini merupakan salah satu metode metode pengolahan air laut paling ekonomis dan hemat energi. “Sudah diuji di beberapa tempat, dan ternyata menguntungkan,” ucapnya.
Rois Said/negeriair.com