Reboisasi Vs Sumur Resapan: Mana Lebih Efektif Hasilkan Air?
Jakarta, (4/3). Selama ini, banyak yang mempercayai bahwa penanaman pohon—apalagi jika dilakukan secara massif seperti reboisiasi hutan—dapat menjaga ketersediaan dan keberlanjutan air tanah maupun air permukaan. Namun, pendapat tersebut dibantah oleh pakar konservasi sumber daya air, Asep Mulyana. “Pohon itu tidak pernah menghasilkan air. Justru, pohon hidup karena ada air,” tegas Asep, saat menjadi pembicara di Indonesia Water Forum, beberapa waktu lalu.
Benar bahwa hutan harus dijaga dan dilestarikan. Namun Asep meluruskan, hal itu tidak spesifik untuk kepentingan kelestarian sumber daya air. Hutan (dan pohon) memiliki fungsi yang lebih luas dari itu, yakni menjaga ekologi dan ekosistem di suatu kawasan. Sementara dalam siklus air, pohon hanya berperan dalam menghasilkan lapisan humus atau tanah pucuk (soil). Humus inilah yang berperan menahan dan meresapkan air hujan.
“Dengan tertahannya air hujan tersebut, maka dia memiliki waktu dan kesempatan untuk dapat meresap ke bawah tanah secara perlahan. Merambat ke dalam tanah dan menjadi air tanah. Air-air itu kemudian bBerkumpul di dalam tanah menjadi mata air, kemudian menjadi pucuk sungai yang akan mengalir menuju laut dan kemana-mana,’ jelas Asep.
Persoalannya, saat ini hutan-hutan sudah banyak yang rusak, atau beralih fungsi. Mulai dari permukiman hingga lahan-lahan pertanian atau industri. Tentu bukan hal yang mudah untuk mengembalikan kondisi seperti semula. Bahkan nyaris mustahil. Sementara, kebutuhan akan ketersediaan air tidak bisa ditunda lagi mengingat populasi yang terus meningkat.
Asep mengatakan, berdasarkan kajian yang ia dan lembaganya lakukan, maka pembuatan sumur resapan menjadi sulusi instan untuk bisa menambah debit air tanah yang kelak akan dikonsumsi oleh masyarakat. “Jadi peran lapisan humus di hutan—yang berfungsi menahan dan meresapkan air hujan—yang telah hilang, diganti dengan sumur resapan. Fungsinya sama, yaitu untuk menampung dan menahan, serta meresapkan air hujan menjadi air tanah atau mata air. Solusi ini sama-sama menguntungkan, karena ladang serta rumah masih bisa dipakai dan air hujan tetap bisa meresap ke dalam tanah melalui sumur resapan,” urai Asep.
Tentang efektivitas, Asep pernah membuktikannya di sebuah kawasan di Salatiga, Jawa Tengah. Di sana, ada Mata Air Senjoyo yang awalnya sudah mengalami penurunan debit akibat terjadinya kerusakan lingkungan di wilayah catchment area-nya. Ketika di wilayah tangkapan air tersebut dibangun sumur-sumur resapan, debit Mata Air Senjoyo pun kembali meningkat secara drastis.
Jadi, di tengah maraknya alih fungsi lahan hutan atau daerah-daerah hijau, pembuatan sumur resapan sebenarnya jauh lebih efektif untuk menyelamatkan ketersediaan air. Tentu, bukan berarti tidak perlu menanam pohon ataupun reboisasi. Itu tetap harus dilakukan mengingat manfaatnya yang sangat besar bagi keseimbangan ekosistem. DA&RS/negeriair.com